Pimpinan Panti Karya Hephata beserta Staff mengunjungi
Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB)
Pada hari Jumat 12 November 2021, Pimpinan Panti Karya Hephata bersama staf mengunjungi Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) di Jl. Kopral Samiyo I No. 37 Rt 006 Rw 013 Sribit Lor, Berbah, Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Kedatangan rombongan Panti Karya Hephata disambut hangat oleh Bapak Rahman coordinator Sigab, Bapak Joni Yuliyanto mantan direktur Sigab ,Ibu Rohmanu , Ibu kuni beserta staf difabel dan non difabel yang bekerja di sigab. Sesampainya di Sigab, rombongan hephata dengan staf yang ada di sigab duduk bersama berdiskusi tentang pelayanan yang dilakukan di Sigab dan apa-apa saja yang boleh dilakukan Hephata demi kemajuan pelayanan hephata.
Menurut informasi dari bapak Joni & bapak Rahman, Sigab Didirikan pada Mei 2003 di Yogyakarta, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) Indonesia merupakan lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada upaya promosi, serta pembelaan dalam rangka pemenuhan hak difabel dalam berbagai aspek kehidupan. Sigab bekerjasama dengan pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat sipil maupun organisasi/komunikasi difabel dalam rangka meningkatkan penyadaran akan perspektif disabilitas, membangun kebijakan public yang lebih berperspektif difabel serta aksi-aksi pembelaan atas pelanggaran hak difabel. Organisasi sigab ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan memperjuangkan hak-hak difabel di seluruh Indonesia sehingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif.
Dalam diskusi tersebut, Pimpinan Panti Karya Hephata menjelaskan kondisi anak dampingan khususnya disabilitas yang sudah waktunya untuk dimandirikan namun mereka menolak dan yang paling mirisnya pihak keluarga disabilitas menolak kehadiran mereka, lalu bagaimana dengan hal tersebut! (Pdt Apriyanto Nababan)
Bapak Joni Yuliyanto merespon hal pernyataan tersebut, bahwa sangat penting sekali memberikan pemahaman tentang undang-undang disabilitas yang menyatakan bahwa tidak selamanya mereka hidup di asrama mereka harus berbaur dengan masyarakat (mandiri) ,dan sangat perlu sekali menuliskan sebuah buku tentang perspektif dari sudut agama, apakah itu Disabilitas menurut agama masing-masing (Islam-Kristen). Apakah sebenarnya tafsiran-tafsiran mengenai difabel dari berbagai agama, kemudian dituangkanlah itu dalam bentuk buku Brile agar mereka yang tuna netra boleh membaca dan memahami buku tersebut.
Lanjut, staf hephata memberikan pertanyaan kembali, sebelum terjun menuju desa inklusi. Penyandang disabilitas yang berada di asrama lama kelamaan pasti akan dimandirikan, tentu sebelum dimandirikan maka kita sebagai staf sudah harus mengetahui potensi-potensi yang mereka miliki, agar nantinya ketika dimandirikan mereka sudah memiliki kemampuan atau potensi. Namun bolehkah kami mengetahui bagaimanakah cara untuk mengetahui potensi dari anak disabilitas dengan kasus (Saorlina yang kita berikan program di pendidikan namun beliau tidak mengetahui apa-apa sampai sekarang, lalu bagaimana dengan hal tersebut).
Kembali lagi Bapak Joni Yuliyanto merespon, ketahui dulu, bisa jadi beliau tidak hanya tunanetra, mungkin saja dia tuna ganda. Persilahkan sajalah anak-anak disabilitas tersebut melakukan apasaja (tetap dimonitoring) kemudian lihat kemampuannya dibidang mana. Namun yang terpenting dari pertanyaan ibu ialah jangan tunggu dia siap baru dimandirikan. Jika sudah waktunya (usia) dimandirikan silahkan diterjunkan, biar dia belajar seiring berjalannya waktu. Diakhir pertemuan staf Panti Karya Hephata memberikan Cendramata kepada staf Sigap dengan memberikan lilin dan juga manik-manik. Sebaliknya staf Sigap juga memberikan buku-buku tentang desa inklusi, tentang disabilitas dll. Sekiranya boleh bermanfaat bagi kemajuan pelayanan Panti Karya Hephata